INTELEGENCE QUOTIENT (IQ) seperti diketahui merupakan suatu istilah di dalam ilmu psikologi yang telah dipopulerkan sejak tahun 1960 an. IQ itu sendiri sebenamya merupakan perbandingan (ratio = quotient) antara umur mental (Mental Age MA) dan umur kronologis (Chronological Age = CA) anak. Misalnya si A yang lahir dalam bulan Januarl 1976 mempunyai unsur kronologis 8 tahun dalam bulan Januari 2000 mengikuti tes intelegensi dan berhasil menyelesaikan tugas hingga batas usia 10 tahun, (dikatakan ia mempunyai umur mental (MA) 10 tahun. Dari perbandingan antara umur mental dengan umur kronologisnya, diperoleh IQ 125. Bagaimana perhitungannya sehingga ia memperoleh nilai 125 adalah sebagai berikut. Rumusnya ialah MA dibagi CA, lalu dikalikan 100. hasilnya merupakan nilai IQ anak tersebut. Jadi jika rumus di atas diterapkan pada si A, perhitungannya 10 dibagi 8, lalu dikali 100, berarti 125.
Tetapi si B yang seusla dengan si A, ternyata mempunyai nilai IQ 75. Mengapa? Sebab si B hanya mampu menyelesaikan tugas pada tes intelegensi itu pada usia 6 tahun. Dengan demikian, perhitungannya ialah 6 dibagl 8 kali 100 berarti 75. Cara perhitungan IQ yang sederhana lni hanya baik diterapkan pada anak-anak, tetapi tidak pada orang dewasa yang pertumbuhan mentalnya telah "selesai". Justeru itu, untuk golongan dewasa atau menjelang dewasa, dlciptakan perhitungan lain.
Dalam hubungan ini, ada beberapa faktor yang bersifat dlturunkan pada dlrl manusia, termasuk kecerdasan otak. Tetapl kecerdasan Itu tidak akan berkembang tanpa adanya rangsangan. Dan harus ada beberapa faktor yang menunjang kecerdasan itu, sehingga berkembang dengan baik, dan menghasilkan prestasi gemilang, baik di sekolah, maupun di luarnya. Pendidikan termasuk salah satu faktor yang bersifat menunjang kecerdasannya. Dengan suatu tes mutakhir, dapat diketahui pada diri seorang anak, berapa persen faktor keturunan pada kecerdasannya dan berapa persen pula faktor penunjang (seperti pendidikan) akan dapat diketahui. Pertentangan tersebut dl dalam psikologi dikenal sebagai nature versus nature.
Secara empirik, sering terjadi, anak yang disekolahkan di sekolah tinggi, sementara anak yang sekolah di sekolah favorit (yang dianggap top dan hebat), tidak apa-apa. Hal itu terjadi karena pada anak-anak tertentu, faktor kecerdasan bawaan lebih berpengaruh dari faktor lingkungan dan faktor penunjang, sementara pada anak lainnya, faktor lingkungan lebih berperan. Di Amerika Serikat, pernah dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui peran lingkungan/rangsangan terhadap kecerdasan anak. Anak yang belum boleh memperoleh rangsangan, dites dahulu IQ-nya. Kemudian diberikan rangsangan-rangsangan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Kemudian anak dites lagi. IQ anak ternyata meningkat, misalnya naik 15 point.
Tetapi IQ tersebut ternyata kembali (menurun) seperti keadaan sebelumnya, (sebelum diberi rangsangan-rangsangan), setelah dites kembali 4-5 bulan kemudian. IQ dan prestasi merupakan dua hal yang saling berkaitan dan saling membutuhkan, untuk berhasil mencapai prestasi tinggi. Tetapi secara empirik, keberhasilan sering disebabkan oleh faktor lingkungan, motivasi dan rangsangan. Anak dengan IQ tinggi, sering tak menghasilkan apa-apa, jika la tidak memperoleh faktor-faktor yang menunjang, seperti rangsangan dan sebagainya.
Istilah intelegensi biasanya menyatakan kemampuan. Clarapede dan Stern, dua tokoh psikologi, mengartikan Intelegensi sebagai kemampuan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam situasi baru. Mengikuti defenisi ini, anak dengan IQ lebih tinggi, lebih mampu mengatasi kesulitan-kesulitannya. Batasan lain tentang Intelegensi yang dikemukakan para ahli ialah sebagai kegiatan kognitif/lntellektual, kemampuan berfikir abstrak, mengerti simbol-simbol, bernalar, melihat hubungan-hubungan dan seterusnya. Sebagian ahli lainnya mengatakan bahwa InteIegensia bukan saja kemampuan untuk memecahkan masala secara sosial. Dari berbagai batasan tersebut, secara umum, lntelegensi dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk belajar dan memecahkan masalah.
Dua anak yang mempunyai nilai IQ sama, dapat mempunyai prestasi berbeda, jika faktor penunjang berbeda pula. Juga faktor kebiasaan orang tua mendidik anak, dapat mempengaruhi prestasi anak. MisaInya A yang mempunyai nilai IQ tinggi, oleh orang tuanya dibesarkan dengan sikap manja berlebihan. Akhirnya tumbuh menjadi anak yang cengeng, tidak mampu mengatasi kesulitan, mudah mengeluh jika menghadapi kesulitan sedikit saja. Ia merasa malas menghadapi yang sulit- sulit, karena sejak kecil. la merupakan anak yang tinggal terima bersih. Bangun tidur, ada yang merapikan kamar tidurnya. Akan ke sekolah, sarapan pagi telah tersedia, sepatu sekolah telah dibersihkan dan disemir oleh pembantu. Segala-galanya telah tersedia. Dengan demikian, A merasa malas menghadapi kesulitan. Ia malas menghadapi pelajaran yang sulit-sullt, meski nilai IQnya tinggi. Ia lebih suka membaca komik, sambil mendengarkan kaset atau menonton video. Faktor-faktor seperti kurangnya minat, kurangnya daya juang dan tiadanya motivasi, menyebabkan prestasi A berada dibawah kemampuan yang sebenarnya dipunyainya. Tetapi B yang juga mempunyai nilai iQ tinggi, mempunyai prestasi tinggi. Sebab orang tuanya dalam mendidiknya, benar-benar menerapkan pola pendidikan yang "sehat", yang menyebabkan B tumbuh menjadi anak yang energik, mempunyai semangat juang dan hasrat yang besar dalam mencapai prestasi tinggi.
Kesimpulannya, prestasi dan kecerdasan merupakan dua hal yang berbeda. Dengan demikian, kecerdasan yang tinggi tidak menjadi jaminan prestasi tinggi. Sebaliknya prestasi tinggi yang dicapai anak, belum tentu karena tingginya tingkat kecerdasannya. Namun faktor rangsangan dan kecerdasan saling menunjang dan saling membutuhkan dalam usaha mencapai prestasi tinggi. Demikian Artikel mengenai Antara kecerdasan dan prestasi | Pentingnya Mendidik Anak, jangan lupa baca juga artikel berikut :
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih sudah berkunjung di blog Rojay Creative.. Silahkan Tinggalkan Komentar..